Loading
Assalamualaikum Wr. Wb. Blogger Informasi . . . Semoga Blog Ini Menarik Untuk Kalian Semua . . .
DEMI MASA

Rabu, 17 November 2010

MENEKUNI JALAN-JALAN KESELAMATAN

Dalam kitab Al-Bidayah wa Annihayah, Ibnu Katsir menyampaikan sebuah riwayat tentang cara pandang Umar terhadap takdir. Suatu ketika sang Khalifah mendengar bahwa di Amawas, salah satu daerah otoritas kekhalifahan, terjadi wabah penyakit mematikan. Penyakit Tha’un. Disebutkan ada sekitar 25.000 korban jiwa oleh wabah yang tersebut.
Dalam keadaan seperti itu, Umar mengirimkan surat kepada pemimpin di daerah tersebut, “Sesungguhnya aku sangat membutuhkan kehadiranmu dan ingin berbicara langsung kepadamu, aku ber-Azzam jika engkau telah membaca surat ini maka jangan letakkan surat ini dari tanganmu hingga engkau langsung menjumpaiku”.
Umar paham, bahwa sang pimpinan, Abu Ubaidah Bin Jarrah, adalah orang yang kokoh memegang keyakinan dan prinsip. Maka Umar tak menyampaikan maksud suratnya dengan jelas. Bahwa sebenarnya Umar menginginkan agar Abu Ubaidah keluar dari kota tersebut untuk menghindari penyakit Tha’un. Tapi Abu Ubaidah menolak secara halus, ia menjawab dalam suratnya, “Wahai Amirul Mukminin, saya mengerti apa keinginan anda kepada saya, sesungguhnya saya berada di tengah-tengah tentara kaum muslimin dan tidak ingin berpisah dari mereka, saya tidak akan meninggalkan mereka hingga Alloh menetapkan apa yang telah ditentukan-Nya kepada saya dan seluruh pasukan saya. Maafkanlah, saya tidak dapat memenuhi keinginan Anda, Amirul Mukminiin, biarkanlah saya bersama tentara saya”.
Ketika Umar membaca balasan surat tersebut beliau menangis. Orang-orang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menangis Amirul Mukminin, apakah Ubaidah telah tewas?” beliau menjawab dengan karamah dan ketajaman bashirahnya, “Tidak, tetapi kelihatannya ia akan tewas”.
Maka secara terang-terangan Umar memerintahkan, dengan sedikit memaksa, Abu Ubaidah untuk membawa tentaranya ke luar kota Amawas. Tapi terlambat bagi Abu Ubaidah, ia keburu diserang penyakit mematikan tersebut. Akhirnya Abu Ubaidah meninggal dunia.
Dari kisah Umar di atas, kita dapat memetik sebuah pelajaran. Mengenai di bolehkan bahkan diharuskannya kita menempuh jalan-jalan keselamatan dari ancaman musibah. Supaya lebih kuat lagi pemahaman kita, mari ikuti kisah Umar yang lain. Dan dari kisah inilah muncul kata-kata Umar yang populer, “Kita lari dari satu takdir ke takdir yang lain”
Masih diceritakan dalam kitab yang sama, Al-Bidayah wa Annihayah. Suatu ketika beliau datang ke daerah Syam bersama para pasukannya untuk berperang. Dalam perjalanan, terdengarlah informasi bahwa negeri Syam sedang diserang wabah penyakit mematikan. Umarpun mengajak para pimpinan pasukan untuk melakukan rapat. Diantara mereka ada yang berkata, “Menurut kami Engkau harus terus berjalan membawa para sahabat Rasulullah ke daerah yang terserang wabah ini.” Tapi Umar menolak saran mereka dan beliau memutuskan untuk kembali esok hari. Mendengar kebijakan Umar tersebut, Abu Ubaidah berkata kepada Umar, “Apakah kita lari dari takdir Alloh”.
Mendengar itu, Umar lantas menjawab, “Ya, kita lari.. Lari dari satu takdir ke takdir yang lain.” Lantas Umar menjelaskan lagi, “Bagaimana menurutmu jika engkau akan berhenti di sebuah lembah yang memiliki dua alternatif jalan, yang satu subur dan yang lainnya kering dan tandus. Jika engkau memilih yang subur maka engkau telah memilihnya atas ketentuan Alloh, tapi jika engkau memilih yang gersang dan tandus, apakah engkau akan mengatakan juga bahwa pilihanmu itu dengan ketentuan Alloh?”
Satu sisi Khalifah Umar telah mengajarkan kepada kita. Bahwa tidak ada yang bisa luput dari takdir Alloh. Tapi ilustrasi pilihan dua jalan, yang tandus dan yang subur sebagaimana Umar sebutkan, adalah cerminan bagaimana seorang mukmin harus menghargai “akal sehat” yang diberikan Alloh kepadanya. Mematikan akal sehat, mengesampingkan logika berpikir, dan tidak memakai kemampuan menganalisa, sama saja menafikan nikmat akal yang diberikan Alloh kepada kita. Maka yang jelas-jelas di depan mata dan menurut pikiran berbahaya, tak sepatutnya didiamkan mengatasnamakan takdir Alloh. Gunakan akal untuk berpikir dan gunakan kekuatan fisik untuk menghindari.
Hanya saja Umar memberikan batasan hakikat yang jelas. Tetap saja, semua yang terjadi adalah bagian dari takdir Alloh. Agar kita tak terjerumus pada menuhankan amal dan akal pikiran.
Dengan pemahaman ini kita memberikan batas pada ikhtiar menekuni jalan-jalan keselamatan. Yakni menghindari takdir Alloh menuju takdir yang lain.
Ada beberapa tuntunan jalan keselamatan dari Alloh dan Rasul-Nya yang perlu kita tekuni. Lebih-lebih saat ini dimana di sekeliling kita seolah-olah banyak bencana yang menunggu giliran mendatangi kita. Sekiranya ada dua aspek yang mesti kita tekuni. Pertama, aspek Jasmani (fisik). Terjadinya bencana-bencana itu semestinya mengajarkan kepada kita untuk berpikir lebih terbuka. Adanya bencana semestinya memberikan ruang lebar bagi Ilmu Pengetahuan untuk berkreasi menciptakan teknologi pencegahan ataupun kalau tidak, sistem penyelamatan. Katakanlah menciptakan sistem untuk meminimalisir jatuhnya korban.
Dalam hal ini kita patut belajar pada Jepang. Negara Matahari Terbit ini sudah menjadi langganan bencana alam. Tsunami pernah, gempa bumi sering. Menghadapi peristiwa yang tak dapat dihalangi tersebut, akhirnya mereka melakukan upaya meminimalir korban dengan menciptakan rumah-rumah anti gempa bumi. Dalam contoh yang lebih ringan, ada Arab Saudi. Kekeringan yang melanda tanah mereka, membuatnya berkreasi menciptakan alat suling yang merubah air laut menjadi air tawar hingga mereka tak kekurangan Air.
Kalau memang bencana-bencana itu adalah ujian dari Alloh. Maka hasil akhir yang pasti terjadi adalah naiknya kualitas diri, baik hati maupun akal pikiran. Maka, hadirnya sistem ataupun teknologi baru untuk menanggulangi bencana alam, semoga memang bagian dari rencana Alloh untuk menaikkan derajat keilmuan kita.
Ikhtiar kedua dalam menekuni jalan-jalan keselamatan adalah ikhtiar ruhaniah. Atau kita sebut ikhtiar Ilahiyah. Melakukan upaya-upaya mengetuk pintu rahmat dan barakah Alloh untuk kita. Ini lebih penting dari yang pertama. Karena segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini tidak ada yang tidak seijin Alloh. Semuanya berjalan sesuai kehendaknya. Siapa yang Dia kehendaki hancur, maka tak ada yang bisa menyelamatkan. Sebaliknya, siapa yang dikehendaki selamat, maka tidak ada yang sanggup menghancurkannya. Kalau Anda sering mengamalkan bacaan surat Ali-Imron ayat : 26, maka marilah merenungi ulang, “Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Ada tiga pokok jalan keselamatan yang mesti kita lakukan agar Alloh menjauhkan bencana dari kehidupan kita. Pertama, beriman kepada Alloh. Kedua, menunaikan hak-hak manusia. Ketiga, menjauhi kemaksiatan.
Kalau kita hingga hari ini tidak mendapatkan musibah, barangkali, wAllohu A’lam, karena disekililing kita masih banyak orang-orang yang menjaga hubungannya dengan Alloh. Mereka beriman kepada Alloh sehingga Alloh mengulang kembali pemberian rahmat-Nya yang pernah di anugerahkan kepada segolongan pengikut nabi Huud, “Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Huud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.” (QS. Huud : 58)
Mungkin saja ada banyak orang-orang yang masih rela bangun di sepertiga malam. Bermunajat, mendoakan keselamatan kaum muslimin (yang didalamnya termasuk kita), dan memintakan ampunan atas maksiat dan dosa. Mungkin saja karena masih ada keluarga yang menghidupkan Al-Qur’an di rumahnya. Membacanya, mentadabburinya dan berusaha mengamalkannya.
Atau pula yang kedua, Alloh menjauhkan kita dari bala’, sebab kita dan saudara kita yang lain telah menunaikan hak-hak manusia. Hak-hak fakir miskin dan anak yatim.
Harta yang kita miliki ada haknya mereka. Tidak menunaikannya, akan ada yang terdzalimi. Dan sebagaimana kita tahu, tidak ada sekat antara Alloh dan doa orang-orang yang terdzalimi. Alloh mendengar rintihan mereka. Dan Alloh paling tidak ridha apabila ada hamba-Nya yang sudah diuji-Nya dengan kesempitan dunia tapi masih ada yang menambahi beban mereka dengan tak mempedulikannya. Dalam Hadist Qudsi Alloh berfirman, “Wahai Ibnu Adam, Aku sakit tapi kamu tidak mau menjenguk-Ku.” Lalu Ibnu Adam menjawab: “Wahai Tuhanku! Bagaimana caranya aku menjenguk-Mu, sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?” Alloh menjawab: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan telah sakit namun kamu tidak menjenguknya.” Apakah kamu tidak mengetahui, sesungguhnya bila engkau menjenguknya maka kamu akan menjumpai Aku di sisinya.” (HR. Muslim)
Barangkali sedekah atau zakat yang kita lakukan itu, telah menghindarkan kita dari musibah dan bencana. Sedikit banyak, uang seribu rupiah yang masuk ke kaleng jum’atan atau uang seratus juta dari zakat seorang pengusaha, telah mengambil peran dijauhkannya bencana dan musibah kepada kita.
Yang ketiga, menjauhi maksiat. Maksiat apapun, sebenarnya berpotensi turunnya bencana dan musibah. Alloh berfirman di dalam Al-Qur’an, “Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan” (QS. Ath-Thalaaq : 8)
Ingat dan mari pegang kuat-kuat tiga pokok jalan keselamatan tersebut. Yaitu beriman kepada Alloh dengan senantiasa memupuknya dengan ketaatan ibadah, kedua menunaikan hak-hak manusia salah satunya menunaikan zakat dan memperbanyak sedekah untuk mereka, dan menghindari kemaksiatan.
Pertanyaan selanjutnya, Apakah dengan begitu dijamin bencana tidak akan terjadi ?. WAllohu A’lam, semua kembali kepada kekuasaan Alloh. Yang pasti, yang harus kita pegang dan kita yakini, Alloh tidak pernah berlaku dzalim kepada hamba-Nya. Kalaupun bencana itu datang, dengan seseorang menekuni “jalan keselamatan” itu, pasti akan mengubah status bencana tersebut dari Azab menjadi Ujian baginya. Bukan siksa tapi rahmat. Bukan di hinakan tapi di “selamatkan” (kalau bukan di dunia pasti di akhirat). Bukan “dimusnahkan” melainkan “di jemput”.
Cobalah kita renungkan satu firman Alloh dalam Hadist Qudsi ini, maka kita akan melihat bencana tidaklah mesti sebagai siksa dan adzab, khususnya bagi orang-orang yang menekuni jalan-jalan keselamatan. “Pergilah kalian wahai malaikat-Ku, kepada hamba-Ku, dan timpakanlah musibah kepada-Nya. Maka para malaikat pun menimpakan musibah kepada seorang hamba Alloh, tetapi dia justru memanjatkan puji kepada Alloh. Lalu malaikat itupun kembali dan berkata kepada Alloh, “Wahai Tuhan, kami telah menimpakan musibah kepadanya sebagaimana yang Engkau perintahkan”, kembalilah, karena sesungguhnya Aku sangat senang untuk mendengarkan suara munajatnya” (HR. Al-Thabrani).
“..Dan janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kalian memiliki derajat yang tinggi, jika kalian beriman (QS.Ali-Imran:139)

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar sejauh ini: on "MENEKUNI JALAN-JALAN KESELAMATAN"

Posting Komentar